Salah satu cerpen dari serial "Maafkan Aku Kak.."
Sosok hitam itu terhenti. Runi mengatur nafasnya, sejak tadi ia berusaha untuk mengejar sosok itu. “Ayah.. Ayah mendengarku kan..” Runi berusaha untuk melihat lebih jelas orang di depannya itu, memastikan. “Kenapa.. Kenapa ayah melakukan ini?” Suaranya tercekat, matanya berkaca-kaca.Meski ia hanyalah seorang anak perempuan berumur 9 tahun, ia sudah sangat mengerti maksud dari semua ini. “Ayah..”
“Aku tidak ingin membunuhmu! Jadi bisakah kau diam!” Suara orang itu menggema di sekitarnya. Memecah kesunyian di hutan gelap ini.
Runi menunduk, sepertinya ia tidak punya pilihan lain. Ia telah mempersiapkan diri untuk situasi ini sejak tadi. Tangannya mengepal, lantas matanya menatap tajam sosok hitam itu. “Aku tidak takut..” Jawabnya, ia meneguhkan dirinya sendiri.
Sebelum ia menyadari, orang itu sudah kembali berlari menjauh.
Kau tidak akan lolos begitu saja! Runi segera berlari, mengejarnya.
***
“Hah!? Anakmu menghilang? Yang perempuan itu?” Bu bidan sontak bertanya memastikan, terkejut. “Kau tidak salah bilang kan?” Wanita di depannya menggeleng, wajahnya putus asa. Ia adalah teman bu bidan sejak kecil. Wajahnya lelah, apalagi ia sedang hamil tua. Ditambah lagi suaminya yang telah lama menghilang meninggalkannya entah kemana. “Kerahkan seluruh warga untuk segera mencari anakmu yang hilang itu sekarang! Bagaimanapun juga, pembunuh itu masih di sekitar sini!” Bu bidan langsung menuju balai desa, bergegas memberitahu satpam yang sedang berjaga. Suara kentongan dipukul berkali-kali, bersahut-sahutan. Malam yang tenang itu, berganti menjadi begitu tegang. Apalagi, nyawa seorang anak sedang dipertaruhkan.
Hasilnya, nihil. Bahkan warga sudah mencari hingga pojok desa, juga menyusuri sungai yang mengalir di pinggir desa. Satu-satunya yang belum dicek, adalah hutan. Tapi, pembunuh itu tinggal di hutan itu. Mereka tidak punya pilihan lain, mulai menyiapkan rombongan. Bagaimanapun juga pembunuh itu sendiri, sedangkan mereka berjumlah dua-puluhan. Setelah siap, mereka pergi bersama menuju hutan itu. Hutan itu terletak berseberangan dari desa, terpisahkan oleh sungai selutut. Jaraknya terpisahkan dua meter dari desa mereka.
Belum lama mereka pergi, keriuhan lain muncul. Wanita yang anaknya hilang itu, tiba-tiba mengerang kesakitan. Sepertinya ia akan melahirkan. Bu bidan sudah sejak tadi khawatir akan kondisinya, langsung bergegas memapah dia ke ranjang di rumahnya. Itu ranjang khusus untuk pasien, penuh dengan perawatan yang masih serba tradisional.
Di saat para pemuda mencari Runi, anak yang hilang itu. Para kaum ibu-ibu yang masih menetap di desa, segera pergi ke rumah bu Bidan untuk membantunya melakukan persalinan.
Ini akan menjadi malam yang sangat panjang..
***
“Berhenti!” Sambil berlari, Runi memaksakan diri untuk kembali berteriak. Seluruh tubuhnya terasa lemas, sejak tadi ia tak henti-hentinya berlari mengejar orang itu untuk kedua kalinya. Tangannya lecet-lecet, tubuhnya tergores sana-sini. Orang itu semakin jauh, Runi sudah memaksakan untuk berlari mengejar sekuat yang ia bisa
Saking fokusnya, kakinya tersandung salah satu akar pohon. Bam! Lantas tubuhnya berdebam jatuh. Runi mencoba untuk berdiri, ia tidak boleh berhenti disini. Percuma, tenaganya sudah sepenuhnya habis. Samar-samar, ia melihat punggung orang itu menghilang. Lantas, gelap.
Runi tidak menyadari, bahwa ibunya sedang sekarat.
***
Subuh, rumah bu bidan.
Teras itu sudah sejak tadi sepi, ibu-ibu telah kembali pulang ke rumah masing-masing. Tapi, mereka masih belum mendapatkan kabar dari orang-orang yang mencari Runi.
“Kau tenang saja, kita akan segera menemukan anakmu itu.” Bu bidan berusaha meyakinkan teman sejak kecilnya itu, lebih tepatnya mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri. Sudah sejam yang lalu proses persalinan itu selesai, bayi laki-laki itu sehat walafiat, meskipun sekarang bayi itu sedang tidur. Tapi, kondisi ibunya sangat mengkhawatirkan. Sejak tadi ia menggigil, wajahnya berkeringat dingin.
Wanita di depannya itu menggeleng, matanya berkaca-kaca. Sambil menyerahkan sebuah kertas yang sejak tadi berada di genggaman tangannya. “Tolong jaga anakku..” Lantas, ia terdiam. Bisu.
Lihatlah wanita di depannya itu, di saat masa-masa terakhirnya. Suaminya sekarang malah menghilang entah kemana, ditambah lagi anak perempuan satu-satunya tidak berada disisinya. Dan sekarang, ia harus meninggalkan anak keduanya yang baru lahir.
Bu bidan terpaku, menangis dalam hati. Menatap kertas yang diterimanya itu, lalu ia mengangguk pelan.
***
Di saat subuh telah tiba, di saat para penduduk setempat masih belum menemukan Runi, di saat para penduduk telah menyerah untuk mencarinya, di saat semua orang sudah balik ke desa.
Seorang perempuan berusia belasan tahun, menemukan tubuh Runi tergeletak tak sadarkan diri di sela-sela semak belukar. Ia langsung mengangkat tubuh Runi, berusaha untuk mengeluarkannya dari situ. Setelah susah payah mengeluarkan tubuh Runi, ia langsung menggendongnya. Lantas berusaha secepat mungkin, menuju ke arah desa.
Hingga sungai pemisah itu telah terlihat, ia harus lebih berhati-hati kali ini. Ditambah lagi sejak tadi nafasnya sudah tersenggal. Ia memantapkan hatinya. Lantas mulai menyeberangi sungai itu.
“Kakak, siapa?” Runi bertanya, heran melihat seorang kakak berusia 20-an tahun menggendongnya. Sudah sejak tadi ia siuman, meskipun suaranya terdengar sangat pelan. “Kau sudah sadar?” Perempuan itu menoleh, tersenyum. Entah kenapa, Runi merasakan dirinya menjadi tenang setelah melihat senyuman itu. “Namaku Ainun. Kau boleh memanggilku, Kak Ai.” Runi mengangguk, balas tersenyum. “Makasih Kak Ai, Kak Ai cantik deh..”
Ainun seketika terdiam, memori itu datang begitu saja. “Terimakasih Ai, kau terlihat cantik ketika kau tersenyum.”
Ainun melihat Runi, sepertinya ia kembali tertidur. Ainun menghela nafasnya, sekali lagi ia tersenyum. Kepada dirinya sendiri.
Tapi ketenangan itu tidak berlangsung lama..
***
“Tidak! Ibu masih hidup! Ibu belum mati!” Runi menangis, berusaha untuk mendekati ranjang tempat ibunya berbaring, tapi bu bidan memeluknya dari belakang. Menahannya. “Runi..” Bu bidan berbisik, mencoba menenangkannya. Gerakan Runi melemah, ia tidak percaya apa yang dilihatnya. “Ibu masih hidup..”
Ainun terdiam, melihat pemandangan di depannya itu. Ia juga tak menyangka akhirnya akan menjadi seperti ini. Tapi, ia tahu ia tak bisa membantu banyak.
Bu bidan memberikan kertas itu kepada Runi. Runi menatap kertas itu, terisak.
Rasanya baru kemarin ia marah kepada ibunya. Rasanya baru kemarin ia memutuskan untuk kabur dari rumah, mencari ayahnya. Rasanya baru kemarin, ia melihat ibunya menangis akibat kelakuannya. Rasanya baru kemarin, ia merasa tidak sabar menunggu kelahiran adiknya.
Runi melangkah keluar dengan gontai, sambil menggenggam kertas itu. Langkahnya terhenti, ketika melihat ke arah ruang tempat adiknya. Ada kaca penghalang di antara dirinya dan ruangan adiknya itu.
Runi memegang kaca itu, menatap adiknya di dalam ruangan tersebut. Matanya berkaca-kaca.
Ia membuka kertas pemberian ibunya. Singkat saja.
Jaga adikmu, Runi. Ibu menyayangimu..
Runi terduduk di depan ruangan adiknya sambil memegang kaca, terdiam. Ia benar-benar menangis kali ini..
Apakah ibu bahagia? Yang ia tahu, sekarang ia telah menjadi seorang kakak..
“Maafkan kakak, bu..”
“Maafkan kakak..”
Sebuah cerita fantasi karya Ardha Karim Alfarrees yang mengandung amanat untuk janganlah b...