Di sini kita akan menjelajahi bersama tentang kejadian aneh yang dialami yusuf sampai kita mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.
Di suatu desa yang sunyi, di mana angin malam berbisik lembut dan pepohonan berayun mengikuti irama alam, hiduplah seorang pemuda bernama Yusuf. Dia adalah anak yang cerdas, namun sifatnya yang tempramental kadang membuatnya terjerat dalam emosi yang tak terkendali. Setiap kali masalah datang, bagaikan gemuruh yang menggelegar, Yusuf merasa dunia begitu berat, dan amarahnya pun meledak seperti api yang membakar hutan. Namun, syukurnya ia tak pernah menunjukkan wajah buruknya itu di depan umum. Hanya ibunyalah yang menyadari kegelisahannya itu.
Ibunya merupakan seorang wanita yang bijaksana, beliau selalu memendam kerisauan yang selalu menghantuinya di dalam hati. Ia tahu, di balik semua kebaikan dan kecerdasan Yusuf, ada potensi kehancuran yang datang dari ketidakmampuannya mengendalikan emosi. Seperti tinta hitam yang terpercik di atas kertas putih yang indah, amarah Yusuf bisa merusak segalanya. Ibu Yusuf pun terus berpikir, bagaimana agar anaknya bisa lebih sabar, lebih tenang, agar dirinya tidak terjerat dalam perangkap emosi yang sangat merusak.
Pada suatu sore yang indah, ketika langit dipenuhi dengan tarian indah warna jingga nan merah di pertunjukan langit, Yusuf berjalan sendirian di jalan desa. Keindahan itu seakan-akan membawanya melupakan segalanya. Namun, tiba-tiba perutnya berdesir, seperti ada sesuatu yang menggerogoti dari dalam. Sakit yang datang begitu mendalam, seperti ada guntur yang memekakkan telinga dan menghancurkan segala ketenangan. Begitu sakitnya, dia merasa tubuhnya hampir tak mampu menahan derita itu. Tetapi setelah rasa itu mereda, yang datang menggantikan adalah rasa lapar yang sangat terasa hingga ke ubun-ubun. Lapar yang tidak bisa terlukiskan dengan kata-kata.
Dengan langkah yang terhuyung, bagaikan suatu bintang yang cantik di tengah gemerlap dengan cahayanya. Tertataplah sebuah toko roti yang menyilaukan di kejauhan. Harapan baru muncul dalam benaknya. Dia melangkah mendekat dengan semangat baru, berharap dapat membeli sebuah potongan roti yang bisa memberinya kekuatan untuk bertahan. Di saat antrean yang terakhir tinggal satu orang lagi, tanpa diduga, seorang remaja seumuran dengannya, melesat mendahului tanpa permisi dengan wajah tanpa rasa bersalah.
Pada saat itu, sifat buruknya itu seakan-akan terukir kembali di dalam diri Yusuf. Emosi Yusuf meledak bagaikan gunung berapi yang tak mampu ditahan lagi. Kata-kata itu sudah tiada, peringatan sudah tak tau ke mana. Yang tersisa hanyalah perkelahian yang meletus tanpa ampun, seperti badai yang menghancurkan segala yang ada di jalannya. Walaupun perkelahian itu tak lama berakhir dengan Yusuf memenangkan pertarungan. Namun, bukannya masalah selesai, masalah justru semakin berlarut-larut. Dia terjerat dalam kasus yang lebih besar, yang tak pernah Yusuf pikirkan sebelumnya.
Orang tua Yusuf, yang sedari awal telah merasakan kerisauan, kini sudah tidak sanggup menahan beratnya air mata. Semua yang mereka khawatirkan akhirnya benar-benar terjadi. Yusuf, yang dulunya mereka anggap akan menjadi kebanggaan, kini terperangkap pada kasus yang belum pernah terlintas di benak mereka .
Yusuf pun merasa dunia runtuh di sekelilingnya. Di tengah tekanan yang begitu besar, dia merasa dijepit dalam keputusasaan yang sangat mendalam, hanya satu yang terlintas dalam benaknya, mengakhiri hidupnya sendiri. Keinginan untuk melarikan diri dari semua masalah itu terasa begitu kuat, bagaikan burung yang ingin terbang bebas dari sangkarnya.
Namun, saat ia hampir melangkah ke ambang kehancuran, sebuah hal aneh terjadi. Saat itulah, kenangan-kenangan masa lalu datang menghampiri seperti sebuah trailer dalam film yang berjalan begitu cepat. Namun, setiap potongan plotnya terasa tajam menusuk hati. Kenangan itu membawa Yusuf pada momen-momen indah bersama ibunya, sahabat-sahabat yang selalu mendukungnya, serta impian-impian yang pernah dia genggam. Semua itu datang begitu mendalam, seperti sebuah aliran sungai yang membawa semua ingatan itu masuk ke dalam hatinya.
Sambil menatap langit yang kelam, air mata Yusuf mulai menetes. Tanpa sadar, air matanya jatuh, menyirami tanah yang kering, sebagai bentuk penyesalan yang dalam. Seperti embun yang menyentuh pagi, setiap tetes air matanya membawa ketenangan di tengah kepedihan.
Tiba-tiba, di hadapannya terbanglah kunang-kunang. Cahaya kecil yang berkelip-kelip di tengah kegelapan, seperti bintang yang menghilang dalam gelapnya malam. Kunjungan cahaya itu terasa penuh makna, seakan-akan kunang-kunang tersebut membawa sebuah pesan. Yusuf pun memutuskan untuk mengikuti cahaya itu, seperti seekor kupu-kupu yang tertarik pada bunga yang indah.
Cahaya itu membawa Yusuf jauh ke dalam hutan, menuju sebuah tempat yang tidak ia kenal. Tanpa sengaja, ia terjatuh dan terguling hingga masuk ke dalam sebuah universe yang berbeda, sebuah dunia yang asing dan penuh misteri. Di sana, Yusuf melihat dirinya sendiri. Yusuf II yang kebetulan juga menghadapi masalah yang sama, namun berbeda jalan. Yusuf II memilih untuk bersabar, menahan emosi, dan tidak mengalah pada amarah seperti yang pernah dilakukan oleh Yusuf sebelumnya.
Dengan sabar, Yusuf II menghadapi semua cobaan yang datang, dan dengan waktu yang singkat, masalah-masalah itu akhirnya terselesaikan dengan cara yang lebih damai, bahkan lebih indah. Keindahan itu terpatri dan bersinar kuat di dalam diri Yusuf II , bagaikan bunga yang mekar di tengah musim semi, setiap detik dipenuhi dengan kedamaian yang menenangkan hati. Yusuf I yang melihatnya, merasakan semua itu. Betapa indahnya jika dia memilih untuk bersabar.
Namun, seolah tak ingin membiarkannya berlama-lama dalam keindahan itu, tiba-tiba ada sesuatu yang menariknya ke arah belakang. Dunia itu pecah, dan Yusuf terjatuh lagi. Kali ini ke dalam universe yang lebih kelam, tempat di mana dirinya yang lebih buruk menunggu. Dalam dunia itu, Yusuf melihat dirinya yang tenggelam dalam kekesalan dan amarah, tubuhnya dipenuhi dengan kegelapan yang membutakan. Yusuf terkejut, tak menyangka bahwa dunia yang buruk itu adalah dunia yang bisa jadi akan ia pilih jika ia terus terjerat dalam emosinya yang tak terkendali.
Tiba-tiba, dunia itu pun hancur untuk kedua kalinya. Segala sesuatu di sekelilingnya pecah dan Yusuf terjatuh tanpa arah seperti batu yang dilempar ke dalam jurang gelap. Namun, tanpa disadari ia mendarat dengan lembut di atas sebuah bintang yang bersinar terang.
Di sana, di atas bintang itu berdirilah Yusuf II yang sedari tadi menunggunya. Dengan senyum lembut, Yusuf II mulai berbicara dengan suara penuh kebijaksanaan, “Aku tahu apa masalah yang kau alami, Yusuf .... Dunia ini memang keras. Tapi, bukan berarti kita harus memperlakukannya dengan keras. Dunia ini berat, namun bukan berarti tak ada jalan untuk menjalaninya. Ingatlah ... innallaha ma'ashobirin."
Yusuf mendengarnya dengan menundukkan kepalanya dan berpikir untuk ke sekian kalinya, tak terasa air matanya mulai mengalir lagi. Ia merasakan kehangatan seakan dunia yang gelap itu menyelimuti dirinya dalam pelukan kasih sayang. Yusuf II merangkulnya dengan lembut, memberi ketenangan yang luar biasa seperti angin yang menenangkan di malam yang sunyi. Air mata Yusuf pun jatuh, namun kali ini air mata kali ini bukan lagi air mata kesedihan, melainkan air mata penyerahan.
Ketika mereka berpelukan, Yusuf merasa seperti terbangun dari sebuah mimpi panjang yang menyentuh hatinya. Betapa nyata mimpi itu, sampai-sampai ia bisa merasakannya dengan begitu dalam. Semua perasaan, kesedihan, ketakutan, dan kebingungannya terasa begitu nyata.
Namun, mimpi itu pun berakhir. Yusuf terbangun di dunia nyata, masih merasakan jejak-jejak perasaan yang mendalam. Dengan langkah yang lebih ringan, ia kembali berjalan ke toko roti, kali ini dengan hati yang lebih lapang. Ia membeli sepotong roti dan memakannya dengan rasa syukur yang dalam seperti seorang pejuang yang kembali dari medan perang.
Di luar langit kembali mempersembahkan tarian jingga dan merah yang begitu indah seakan dunia ini memberikan kesempatan baru baginya. Yusuf pun pulang ke rumah, dengan hati yang lebih tenang dan penuh harapan sembari menyadari ternyata sabar benar-benar adalah pilihan terbaik yang bisa diambil di tengah badai kehidupan.
Teman-teman .... Sebenarnya, kita memang mempunyai emosi yang tak bisa kita atur. Memang sulit, tapi bukan berarti tidak bisa untuk mengaturnya. Walaupun wajar kan yah jika tinju dibalas tinju, makian dibalas makian, sakit dibalas sakit. Tapi ... ingatlah, sabar adalah opsi yang terbaik.