Ubermensch?
"Let them misunderstand you. It shouldn't change you."
2025-08-27 14:00:38 - اكر رللن ورضن
Prelude
Di masa remaja, menentukan arah hidup adalah tugas yang sulit. Masa ini dipenuhi oleh ketidakpastian, kebingungan arah, romansa & cinta monyet, serta alur hidup yang bisa naik turun kapan saja. Kadang, mood bisa saja naik, bisa saja turun. Merasa orang yang paling berkuasa, dan merasa menjadi orang yang lemah. Mencoba menjadi berbeda, padahal mereka semua orang yang sama saja. Mudah terbawa arus, dengan adanya media sosial seperti Tiktok, Instagram, Youtube Shorts. Hal itu memang normal di kalangan modern, tapi jangan sampai terlalu terbawa dengan masa muda ini. Memang benar kata orang, jangan sampai menyia-nyiakan masa muda untuk sesuatu yang tidak berguna.
Salah satu pandangan hidup yang menarik dan memang lumayan memengaruhi beberapa aspek dari hidup saya sendiri, serta berkaitan dengan konsep ketidakstabilan masa remaja menurutku, adalah Übermensch. Paham ini berasal dari pemikiran salah satu filsuf modern pada abad ke-20, yaitu Friedrich Nietzsche, yang dituangkan ke dalam salah satu karyanya, yaitu Thus Spoke Zarathustra. Übermensch sendiri memiliki arti ‘overman’ atau ‘superman’ dalam bahasa Jerman, bahasa ibu Nietzsche.
Kenapa beliau bisa mencetuskan konsep ini?
Konsep ini dilatarbelakangi dengan keadaan dari lingkungan sekitar dan kemasyarakatan yang mulai tidak mengedepankan keagamaan. Nietzsche pun sebenarnya membenci agama karena pelajaran dogmatisnya. Tetapi, dia juga takut akan kehilangan penuh dari agama. Karena, untuk beratus-ratus atau ribuan tahun, agama telah menjadi bagian yang penting dalam hidup seseorang. Dengan hilangnya ajaran moral dalam dogma agama, yang terjadi bersamaan dengan agama yang lama-lama memudar. Hal ini dipercepat dengan seiringnya modernisasi yang dapat kita lihat di masa sekarang ini, hal kuno seperti agama pun juga mulai ikut ditinggalkan.
Dengan menghilangnya konsep keagamaan, dan tidak ada nilai, dunia dapat terjatuh kedalam nihilisme dan kekosongan moral. Hal ini awalnya terjadi di masyarakat barat seperti Amerika, Inggris, dan Prancis. Tetapi, dengan sosial media, hal ini menjangkau berbagai masyarakat yang berkultur timur seperti Arab Saudi, Jepang, dan bahkan di negara kita, Indonesia. Dengan menelisik berita-berita yang ramai di masa sekarang ini, seperti banyaknya kasus orang yang melakukan pemerkosaan, perzinaan, kehamilan di luar nikah, tawuran, pacaran, mabuk-mabukan, perjudian (baik online maupun offline), fitnah satu sama lain, perpecahan, konflik kepentingan, dan masih banyak lagi. Selain itu, menghilangnya konsep moralitas juga membuat dunia terjatuh kedalam kehidupan nihilisme. Nihilisme adalah paham yang meyakini bahwa dunia ini tidak seharusnya ada, dan tidak ada artinya. Orang-orang nihilis dapat terjatuh ke dalam fase The Last Man.
Filosofi Nietzsche
Dalam Thus Spoken Zarathustra, Nietzsche mengutarakan dua konsep yang saling bertentangan. Yaitu, konsep Übermensch dan The Last Man. The Last Man, atau manusia terakhir, memiliki kehidupan yang cenderung nyaman dan tidak keluar dari zona nyaman. The Last Man bisa dideskripsikan dengan relevansi modern, seperti orang yang pergi bekerja kantoran yang sangat membosankan. Ketika ia digaji, dia menggunakan uang itu untuk bertahan hidup, melakukan pesta, melakukan top-up di game mobile, minum bir, makan pizza, scrolling media sosial di masa luang, dan kembali bekerja dengan lingkungan yang membosankan. Dia akan melakukannya sampai dia mati. Nietzsche mengatakan bahwa hidup dengan pola yang seperti ini tidak ada artinya. Orang yang cenderung memiliki kehidupan seperti itu akan memikirkan bahwa hidup tidak ada artinya dan tidak ada yang bisa menyelesaikannya. Tidak ada lagi nilai moral yang bisa mengisi kehidupan, karena agama sudah menghilang dari diri orang tesebut. Oleh karena itu, Nietzsche memiliki konsep yang dapat menggantikan konsep agama yang dogmatis, dengan konsep yang ia sebut sebagai Übermensch.
Karakteristik kunci pada konsep Übermensch adalah pembuatan nilai/identitas sendiri, yang kebanyakan bertentangan dengan nilai dan norma umum. Nilai yang ditentukan oleh masyarakat; seperti cara berpakaian, cara berpikir, cara mengekspresikan diri, dan cara mengikuti peraturan adalah hal yang seharusnya tidak menjadi penghalang. Herd mentality pun memang dihindari di konsep ini. Tetapi, koreksi nilai juga merupakan kunci. Pemikiran seorang Übermensch dapat ditentang dengan memberikan kenyataan atau sudut pandang lain. Jika Übermensch merasa bahwa pandangan aslinya salah, dia akan menerima nasihat itu, dan mencoba untuk berubah. Tandanya, seorang Übermensch haruslah menjadi manusia yang open-minded dan terbuka terhadap koreksi.
Selain itu, Übermensch memiliki konsep Will to Power, yaitu keinginan untuk kekuatan. Terutama, kekuatan self-mastery. Dia memiliki keinginan berkembang, rela merasakan rasa sakit dan ketidaknyamanan, serta rela mengejar mimpi dan rela berkorban demi tujuan yang diinginkan. Misal, keinginan kuliah di luar negeri, menjadi penulis independen, menjadi militer, atau hal lain. Kita harus mampu mengejar mimpi dan rela menghabiskan waktu, usaha, dan uang demi mimpi. Jika kita iri pada seseorang, tandanya itulah apa yang kita inginkan. Jika kita iri dengan orang yang memiliki kesempatan studi di luar negeri, carilah dan berusahalah untuk pergi ke luar negeri, dengan beasiswa, hak istimewa, atau apapun. Übermensch juga harus dipenuhi dengan rasa tanggung jawab atas aksi, dan kejujuran pada diri sendiri. Kita harus tau apa kelemahan kita, dan kita berusaha untuk memperbaikinya, bukan menutup-nutupi.
Übermensch juga tidak memiliki rasa menyesal atas pengalaman. Semisal, seorang Übermensch pernah berpacaran di masa remaja. Setelah pengalaman empiris dan berbagai nasihat yang diterima dari orang (dengan syarat bahwa nasihat yang didapat juga disortir), akhirnya dia menilai bahwa aksi pacaran yang pernah ia lakukan memang merupakan kesalahan yang terjadi. Tetapi, dia tidak merasa menyesal bahwa dia pernah berpacaran. Menurutnya, pengalaman berpacaran itu harus ada demi pengembangan diri dan koreksi diri menjadi lebih baik. Dia tidak pernah menyembunyikan fakta bahwa dia pernah berpacaran. Itu bukanlah aib. Karena dia tau, dia telah belajar dan dia sudah berbeda dari dirinya sebelumnya. Übermensch hidup di kehidupan masa kini. Dia tidak terjebak dalam kesalahan yang pernah dilakukan di masa lalu, serta tidak melihat idealis masa depan yang bahkan belum pernah terjadi.
Übermensch merasa nyaman dengan kehidupan yang ia rasakan saat ini. Dia tidak mengidealisasikan dunia lain di mana dapat terjadi hal yang berbeda. Salah satu yang berkaitan dengan idealisasi adalah romansa atau cinta. Banyak orang yang mengimpikan bahwa pasangan hidupnya dapat ditemukan di masa sekolah, memiliki sifat yang sempurna, melakukan kemesraan, menikah, punya anak bersama, dan hal lain. Terkadang, ada beberapa orang yang terbawa perasaan ini. Idealis romansa, juga biasanya memang tidak melihat realita lapangan, tetapi hanya pure keinginan. Übermensch beranggapan, bahwa idealisme semacam itu hanya menghibur impian untuk waktu yang singkat, dan terbawa perasaan dan idealisme semacam itu tidak ada gunanya. Hal itu hanya membuang-buang waktu, yang seharusnya bisa digunakan untuk pengembangan diri, bukan malah meratapi dunia alternatif yang bahkan mungkin tidak pernah terjadi. Idealisnya seorang Übermensch, juga dicampur dengan aksi, serta kesadaran/realisasi apakah ide tersebut memang bisa terjadi atau tidak.
Übermensch menerima semua masalah dan batasan yang ia hadapi di hidup ini. Übermensch pun harus memiliki keinginan untuk menyelesaikan masalah dan mengatasi batasan, dengan kreatifitas, untuk menjadi diri sendiri. Mereka hidup, tanpa validasi yang dibutuhkan dari orang lain, seperti pacar, teman dekat, atau publik yang tidak dikenal. Mereka menjadi diri sendiri, menikmati hidup dengan selera musik sendiri, menentukan arah hidup, menerima masukan dan koreksi, penuh tanggung jawab, melewati batasan, mencari arti hidup, melakukan integrasi diri menjadi orang yang lebih baik, dan tidak terlalu bergantung, alias menjadi orang yang independen.
Manusia dan Keterbatasannya
Übermensch memang bukanlah konsep yang menjadi tujuan akhir dalam hidup. Proses ini pun bukanlah semerta-merta menjadi, tetapi lebih ke mendekati. Menurut banyak sumber, Nietzsche pun juga sadar bahwa konsep ini terlalu sulit untuk dicapai oleh manusia pada umumnya. Itulah kenapa, Nietzsche menamai konsep ini “Übermensch”. Karena, orang yang dapat melakukan sifat tersebut hanyalah seorang superman/overman, yang pastinya tidak ada di dunia ini. Nietzsche tidak menegaskan bahwa semua orang harus menjadi Übermensch. Faktanya, tidak ada seorang pun yang dapat mencapai absolute Übermensch. Kita tetaplah manusia, yang memiliki banyak keterbatasan. Buktinya adalah, Nietzsche sendiri malah terjatuh terhadap nihilisme, paham yang dia tulis sebagai bencana terburuk bagi spiritual seseorang. Dia berusaha menyelesaikan masalah ini dengan merumuskan konsep Übermensch. Tetapi pada akhirnya, yang bisa menggunakan hasil pikirannya, adalah orang-orang yang membaca bukunya. Dia sendiri meninggal dalam keadaan gila dan tidak mampu memenuhi hal yang dia tulis dahulu.
Memang, kita adalah makhluk sosial, membutuhkan orang lain, memiliki emosi dan empati, dan kita tetaplah makhluk yang insignifikan. Dunia ini memang tidak ada artinya. Tetapi, kita sendiri yang memberi makna hidup itu. Apapun yang berkaitan dengan agama, sosial, paham filosofi, itulah yang kita lakukan agar membuat hidup menjadi tidak membosankan. Übermensch juga merupakan salah satu dari tersebut yang dapat membuat hidup menjadi bermakna. Yaitu, pengembangan diri, perubahan diri, sampai kita mati.
Integrasi
Salah satu part yang memainkan peran besar dari konsep Übermensch adalah menolak keadaan Tuhan di kehidupan pribadi seseorang. Wujud Tuhan semerta-merta adalah pemberi nilai yang kuno. Dan, tidak ada cara untuk mengembalikan agama untuk menjadi bermakna. Di dalam agama juga ada yang namanya “standar moral”, yang berlawanan dengan Übermensch yang mengutamakan kebebasan dan independensi. Oleh karena itu, perlu dilakukan integrasi Übermensch dan konsep keagamaan supaya keduanya dapat berjalan berdampingan. Karena, agama tetap menjadi nilai penting di dalam nilai spiritual seseorang. Di saat yang lain telah bertindak yang tidak seharusnya, kita tetap berjuang mencapai nilai kita agar menjadi orang yang lebih baik dan puas.
Didalam Übermensch, tidak ada yang namanya akhirat. Übermensch meyakini bahwa dunia akan berlangsung selamanya. Jika kita meninggal, akan terjadi reinkarnasi. Tetapi, di dalam Islam, tidak ada ajaran seperti itu. Maka, kita harus mengutamakan nilai agama kita, yang mengakhiri bahwa kita akan meninggal, dan akan mengalami siksa kubur.
Banyak juga orang yang menilai bahwa memiliki hidup seperti seorang Übermensch memiliki sifat yang sombong, terlalu dingin, terlalu serius, tidak pernah mengalah, terlalu egois, dikarenakan sifat individualis, tidak ingin menyerah, dan menginginkan kesuksesan. Oleh karena itu, untuk mengadopsi paham ini dengan baik, jangan terima semua hal yang disampaikan Nietzsche tentang paham ini. Kita tinggal di lingkungan, era, dan privilege yang berbeda-beda. Untuk mengadopsi paham anti-lelah ini, lakukanlah modifikasi. Jadilah orang yang mengincar kesuksesan, tapi tidak lupa dengan Tuhan. Jadilah orang yang menghargai nilai instrinsik, tapi tetaplah bersikap baik terhadap orang lain. Karena sejatinya, kita semua adalah makhluk sosial. Jadilah orang yang tahan banting meskipun dunia tidak mendukung, tapi hindarilah overwork atau burn-out untuk menjaga kesehatan mental diri. Jadilah orang yang memaknai hidup, dan mengapresiasi semua pengalaman yang datang, maupun itu pengalaman yang pahit, ataupun pengalaman yang menyenangkan. Belajar dari pengalaman, dan kita akan mendapatkan ilmu empiris yang bisa digunakan dalam kehidupan nantinya.
Akhirnya?
Masa remaja dipenuhi dengan ketidakstabilan, gonjang-ganjing yang tidak kita ekspektasikan, dipenuhi romansa, atau rasa burn-out. Tetapi, janganlah sekali-sekali kita berpikiran bahwa kita akan mati tanpa merasakan makna hidup yang berarti. Hidupkanlah nilai sosial, kreasikan nilai intrinsik yang kita hargai, belajar dari kesalahan dan pengalaman, menerima hidup yang memang tidak sempurna ini, berusaha menggapai nilai yang kita anggap benar tanpa terlalu melenceng dari standar moral, bebaskan diri dari standar sosial (bedakan standar moral dan standar sosial), hanya bergantung bahwa Tuhan, sadar bahwa kita memang bukanlah tokoh yang signifikan bagi makhluk hidup lain. Tetapi, kita adalah main character bagi cerita kita sendiri. Validasi dari makhluk hidup lain tidak lain hanyalah makna kosong yang mendatangkan rasa kebebasan dan superioritas palsu. Paham Übermensch mendatangkan harapan dan arah yang jelas bagi hidup para remaja yang memang sedang masa-masa ketidakstabilannya.
Nietzsche tidak menyuruh semua manusia menjadi Übermensch. Tetapi, mengambil sisi baik yang bisa dimanfaatkan dan mengaplikasikannya pada kehidupan nyata, menjadi kunci bahwa Übermensch bisa juga mendatangkan suatu makna dan arah hidup yang jelas. Übermensch adalah menjadi diri sendiri, dan bukanlah jiwa yang kosong, memiliki pikiran yang dapat dikendalikan oleh standar sosial, dengan tubuh yang bisa dimanfaatkan oleh orang lain. Jika kita dapat mengaplikasikan paham ini dengan benar, kita dapat merasakan hidup yang lebih tenang, fokus yang berubah menjadi effort yang nyata dan serius, serta menyingkirkan hal-hal yang sejatinya memang tidak perlu.
Begitulah artikel singkat dari penulis. Jika ada yang memiliki pertanyaan, bisa ditanyakan ke email saya, akira0302@mega.sch.id. Siapa tau kita bisa berdiskusi, atau bahkan mendapatkan point of view yang berbeda dan menarik. Saya Akira Rylan Wardhana, pamit.
*Note = Artikel ini adalah hasil interpretasi penulis terhadap paham Übermensch. Jika anda ingin mencari point of view lain dari paham ini, bisa mencari sumber-sumber lain. Bisa mencari artikel, video, ataupun membaca buku aslinya, Thus Spoke Zarathustra (warning: buku ini menggunakan bahasa Inggris yang lumayan advanced)
Sumber:
https://philosophybreak.com/articles/ubermensch-explained-the-meaning-of-nietzsches-superman/
https://www.ebsco.com/research-starters/social-sciences-and-humanities/ubermensch
https://www.youtube.com/watch?v=GzFdHN_lQsA
https://www.youtube.com/watch?v=N2gFMyMcklo