Salah satu tokoh dari trilogi cerpen "Dia Menatap Cermin"
Baca juga kisah "Dia Menatap Cermin!" https://giga.mega.sch.id/posts/dia-menatap-cermin-cerpen
Baca juga kisah "Dia Ditatap Cermin!" https://giga.mega.sch.id/posts/dia-ditatap-cermin-cerpen
Baca juga cuplikannya! https://giga.mega.sch.id/posts/kisah-diqi-api-kelulusan-cuplikan
“Diqi, bertahanlah!” Veera berteriak, jarak antara dia dan Diqi terpisah cukup jauh dari panggung sekolah tempat acara kelulusan SMP mereka.
Api semakin membesar, melahap apapun yang ada di sekitarnya. Api itu persis mengelilingi Diqi yang sejak tadi berusaha mencari sisi yang paling mungkin untuk dilewati. Tapi, api itu semakin besar. Asap telah menyebar, membuat Diqi sejak tadi terbatuk-batuk. Matanya berair, perih. Hawa terasa begitu panas, tenaganya sudah habis sejak tadi.
Veera melihat Diqi terduduk, kehabisan tenaga.
“Diqi! Apa kau baik-baik saja?” Veera berseru tertahan.“ Jawab aku Diqi, kumohon. Setidaknya beri aku tanda bahwa kau baik-baik saja”.
Veera memandang ke sekeliling, berlari di sepanjang api yang mengelilingi Diqi. Juga mencoba mencari jalan, wajahnya terlihat sangat cemas.
Tiba-tiba, atap panggung acara bergetar hebat. Api sudah menjalar ke tiang-tiangnya sejak tadi. Dan, sebelum Veera menyadari sepenuhnya apa yang akan terjadi, salah satu benda berat di atap panggung terjatuh.
Bam!
Hantaman pertama yang memancing satu persatu benda-benda lainnya juga jatuh menuju hamparan panggung. Jatuh di antara api yang berkobar. Terpisah beberapa langkah dari tubuh Diqi.
Veera menatap cemas Diqi, tubuhnya telah terbaring, terkulai lemas. Sepertinya nafasnya sesak akibat asap yang semakin tebal. Atap panggung mulai bergetar kembali, pertanda akan roboh. Veera memejamkan matanya, ia dihadapkan dengan pilihan yang sulit.
“Kalau aku jadi kau, aku akan ikut menangis demi dirinya. Sekalipun api telah berada di sekelilingku.”
Entah kenapa, kenangan itu. Kenangan yang sudah lama ia lupakan, kalimat yang pernah ia dengar dulu seperti menggema di benaknya. Veera terdiam, kalimat itu sepertinya tidak asing. Sepertinya ia pernah merasakan situasi seperti ini dulu.
Dan akhirnya, ia ingat siapa itu Diqi…
***
Tubuhnya terbanting mundur, tangannya lecet-lecet setelah menahan serangan kursi yang sekarang hancur berhamburan di sampingnya. Ia meringis, menahan sekali lagi serangan Kean. Hilang sudah setelan rapi bajunya setelah acara kelulusan sekolah.
“Kau tidak akan menang melawanku.” Kean tersenyum mengejek melihat Diqi yang terpojok di salah satu sudut panggung. Kedua tangan Diqi kembali bersiap melindungi tubuhnya. Kean tersenyum licik. Dan, sebelum Diqi menyadari arti dari senyuman itu, Kean telah mengeluarkan sebuah benda dari balik jasnya. Matanya menatap benci.
Kean terhenti sejenak, mencoba menahan serangannya. Nafasnya menderu.
“Sebelum kau menyesal, kuingatkan kau sekali lagi. Jauhi Veera!” Kean menatap Diqi dingin.
Tidak! Kean salah. Bukan dia yang memulai pertemanan dengan Veera, tapi Veera sendiri yang memulainya. Dan, bagaimana dia ingin menjelaskan kesalahpahaman ini kepada Kean, jika ia sendiri tidak bisa mengucapkan sepatah katapun selama hidupnya! Ia tidak akan melanggar janjinya kepada ayahnya dulu, janji sebelum ayahnya pergi. Ya, ia sudah berjanji kepada ayahnya bahwa selama hidupnya, ia tidak akan berbicara kepada siapapun hingga janji itu terpenuhi.
Diqi menatap Kean, berusaha fokus dengan lawan di hadapannya. Tangannya kembali bersiap.
“Kita akhiri di sini, Diqi.” Kean mengeluarkan satu belati lagi dari balik jasnya.
Dua belati di tangannya telah siap, dan Kean langsung buas menyerang Diqi dengan meluncurkan serangan-serangan mematikan.
***
Diqi adalah seseorang yang tidak pernah berbicara dengan siapapun, entah karena apa. Meskipun begitu, ia adalah seseorang yang rendah hati, sering menolong, bahkan ia sesekali tersenyum dengan wajahnya yang cukup memikat itu. Tak heran jika orang-orang menyapanya hampir setiap hari. Tapi ia mempunyai satu masalah serius, ia tak punya teman. Ya, Diqi tidak mempunyai seseorang yang bisa disebut teman. Bahkan, ia masih tidak mengerti, apa itu definisi seorang teman. Jika ia belum tahu apa itu teman, maka bagaimana ia akan menjelaskan apa itu arti cinta? Ia tak akan mengerti.
Hingga seminggu sebelum acara kelulusan SMP-nya.
Brak!
Seorang murid perempuan terjatuh, ia memegangi keningnya, Diqi tidak sengaja menabraknya. Mereka sama-sama kelas sembilan meskipun tidak sekelas. Diqi juga memegangi keningnya, lalu ia segera mengulurkan tangannya. Diqi bergegas membantu orang itu berdiri, ia sedang terburu-buru.
“Siapa namamu?” Tanya orang itu sebelum Diqi pergi.
Hening. Diqi terdiam, tak menjawab, lantas menatapnya. Diqi mengangguk, tersenyum tipis. Lalu segera berlari meninggalkan orang itu yang hanya terdiam penuh tanda tanya. Orang yang ditabraknya termenung, ia yakin sekali pernah melihat senyuman itu. Senyum yang begitu tenang, lembut, hangat, dan damai.
Keesokan harinya.
“Namaku Veera.” Seseorang yang kemarin Diqi tabrak itu mengulurkan tangannya, memperkenalkan dirinya.
“Senang bertemu denganmu.” Veera tersenyum, Diqi hanya menunduk. “Apa kau mau menjadi temanku?” Veera bertanya, Diqi masih menunduk.
Diqi termenung sesaat, melirik ke arah Veera. Jika diperhatikan sepertinya ia pernah melihat orang ini.
Diqi merobek kertas di bukunya, lalu menuliskan sesuatu.
‘Namaku Diqi’.
Dan sejak hari itu, Veera selalu berada di dekatnya entah karena apa. Awalnya Diqi hanya menganggapnya sebagai kejadian biasa. Menjadi seorang teman. Tapi, ia tidak menyangka pertemanannya dengan Veera akan berdampak serius. Dan lagi-lagi, ia tidak tahu apa alasannya.
***
Setelah acara kelulusan selesai.
Sepi. Diqi masih melakukan sesuatu di panggung itu. Mukanya serius. Tangannya menggenggam secarik kertas.
‘Kita akan menyelesaikan masalah ini setelah acara kelulusan sekolah.’
-Kean.-
Begitulah isi surat itu. Diqi menunggu cemas, siapa lagi orang yang mengirimkan surat ini? Masalah apa yang membuatnya harus berhadapan dengan seseorang bernama Kean itu?
Tiba-tiba saja, seseorang mendatanginya. Setelah Diqi perhatikan, orang ini seperti tidak asing dengannya. Orang ini adalah orang yang selalu bersama Veera setelah pulang sekolah.
Diqi ingin bertanya siapa dia, ada masalah apa Diqi dengannya. Tapi ia tahu janji itu belum terpenuhi, dan ia berjanji untuk tidak berbicara sekalipun semenjak kejadian bersama ayahnya waktu dulu. Terserah orang hendak mengatakan apa tentang dirinya yang seperti benda mati. Bisu.
“Aku tahu kau tidak akan mengucapkan sepatah katapun, meskipun aku tidak tahu apa alasannya.” Orang itu menaiki panggung, pergi ke sudut yang berseberangan dengan Diqi.
“Kau pasti mengenalku Diqi, namaku Kean.” Kean berjalan perlahan mendekati Diqi. “Dan, aku juga tidak tahu, mengapa Veera selalu menyebut namamu akhir-akhir ini.” Langkah orang itu terhenti. Ia menatap Diqi tajam, seolah ingin menerkamnya.
Diqi hanya diam. Lidahnya sejak tadi ingin berteriak sekencang-kencangnya, menjelaskan kesalahpahaman yang sedang terjadi. Tapi ia tidak akan melanggar janji, janji seorang anak kepada ayahnya, setelah ayahnya pergi selama-lamanya. Janji yang selalu ia pegang teguh.
“Kau tahu Diqi? Veera adalah seseorang yang penting bagiku. Dan, ketika ia berteman dengan orang lain, perasaan ingin menjaganya dari orang itu tidak tertahankan lagi.”
Dan, Diqi akhirnya ingat, bahwa ia pernah memiliki seorang teman. Tapi itu dulu sekali.
Diqi mendengus. Kau kira hanya kau yang menganggap Veera itu penting? Spesial?
Tekadnya sudah bulat, ia akan menghadapi Kean sendiri. Veera tak perlu tahu tentang ini.
***
Hampir di seluruh tubuh Diqi terasa sakit, terlihat lusuh dan debu menempel di sekitar seragamnya yang putih itu. Kulitnya terasa amat perih. Jasnya sudah sejak tadi terlepas entah ke mana. Dia membuka matanya, terbatuk berusaha duduk. Ia masih berusaha mengendalikan napasnya. Apa ia pingsan? Sepertinya iya. Ia sekali lagi terbatuk. Di mana dia?
Diqi menatap sekeliling, sepertinya ia berada di atas panggung. Ia mencoba memperhatikannya sekali lagi, kondisi panggung itu buruk sekali. Tiang-tiang dan benda di atas telah jatuh berserakan di sekitarnya, dan panggung itu telah berubah menjadi hitam. Asap masih keluar dari kayu yang sudah habis terbakar itu, bersisa abu. Ia menatap ke atas, cahaya menerobos dari langit-langit panggung yang telah hancur. Silau.
Sepertinya ia tertidur. Apa yang telah terjadi? Diqi bertanya dalam hati. Terakhir kali sebelum ia pingsan, ia mendengar suara yang samar.
“Diqi, bertahanlah!”
Sebentar, ia yakin sekali pernah mendengar seruan itu sebelumnya. Ia hendak berdiri, bangun. Tapi, seluruh tubuhnya terasa sakit. Terutama lengannya. Eh, apa ini?
Ia merasakan sesuatu di tangannya, sebuah kertas. Dengan sisa tenaga, ia berusaha untuk membuka kertas itu. Kertas itu ujung-ujungnya telah hangus terkena gemerutuk api.
Diqi membuka kertas itu. Seketika ia terdiam, lantas tersenyum. Senyum sedih bercampur gembira. Brak! Kepalanya terbentur lantai kayu. Ia kembali jatuh dari duduknya, terbaring tidak kuat lagi menopang tubuhnya. Ia memejamkan matanya kembali, lantas membisikkan sesuatu ...
“Ayah, janjiku dulu telah terpenuhi. Karena itu, izinkanlah aku untuk berbicara kembali..”